Kudus – Aksi anarki yang mewarnai peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) di Kota Semarang, Rabu (1/5), menuai kecaman dari berbagai kalangan di Kabupaten Kudus.
Selain dari pimpinan organisasi kemahasiswaan, suara penolakan juga datang dari kalangan akademisi yang menilai tindakan tersebut tidak hanya merusak ketertiban, tapi juga menciderai nilai-nilai hukum dan demokrasi.
Ketua PMII Cabang Kudus, Medan Wijaya, menilai bahwa aksi anarko telah melenceng jauh dari semangat perjuangan buruh. Ia menyebut tindakan kekerasan dan perusakan sebagai bentuk penghianatan terhadap perjuangan yang sah dan damai.
“Aksi buruh adalah ruang aspirasi, bukan ruang kekerasan. Anarko telah merusak nilai luhur perjuangan buruh dengan tindakan brutal. Kami mengecam keras dan mendesak penegakan hukum terhadap pelaku,” ujar Medan.
Ketua DEMA IAIN Kudus, Mustamir, juga menyuarakan keprihatinannya dan meminta agar negara hadir dalam menjaga ketertiban.
“Gerakan buruh adalah bagian dari demokrasi, tapi ketika ada penyusup anarko yang membuat kekacauan, itu harus dihentikan. Negara tidak boleh kalah oleh kelompok perusuh,” tegas Mustamir.
Hal senada disampaikan oleh Ketua HMI Komisariat Prematur Cabang Kudus, Habib Maulana. Ia menolak keras setiap bentuk kekerasan atas nama apapun.
“Anarko bukan representasi gerakan rakyat. Mereka adalah perusak, bukan pejuang. HMI menolak dan mengecam segala bentuk tindakan anarkis yang merusak ketertiban umum,” katanya.
Dari kalangan akademisi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus (UMK), Yusuf Istanto, SH., MH., juga mengecam keras tindakan anarkis tersebut dan menyebutnya sebagai bentuk pelanggaran pidana yang serius.
“Tindakan anarkis dalam bentuk perusakan fasilitas umum atau penyerangan terhadap aparat jelas merupakan tindak pidana. Negara harus hadir dengan tegas, bukan hanya demi penegakan hukum, tetapi juga untuk melindungi hak masyarakat umum atas rasa aman,” terang Yusuf.
Yusuf juga mengajak masyarakat untuk tidak mudah terprovokasi dan menyampaikan aspirasi secara tertib sesuai konstitusi.
“Demokrasi memberi ruang berpendapat, tapi bukan membenarkan kekerasan. Mari kita jaga Indonesia sebagai negara hukum, bukan negara kekerasan,” tutupnya.